https://parstoday.com/id/radio/other-i82751-ikatan_seni_kaligrafi_islam_dan_iran
Ikatan Seni Kaligrafi Islam dan Iran
Sejarah mencatat bahwa tidak ada penemuan yang lebih penting daripada tulisan dan bahasa. Jika tulisan (rangkaian huruf-huruf) tidak ditemukan, ide-ide para pemikir tidak akan sampai ke generasi sekarang dan peradaban tidak bergerak ke arah kesempurnaan.
Kaligrafi adalah salah satu pilar seni dan budaya Iran yang telah berevolusi selama berabad-abad dan pihak yang memperkenalkan seni ini ke negara lain. Artikel ini akan berbicara tentang Mir Emad Qazvini, kaligrafer besar Persia dan seni kaligrafi Iran.
Mir Emad dilahirkan di kota Qazvin, Iran pada tahun 1554 Masehi. Setelah menamatkan pendidikan dasar, ia hijrah ke kota Tabriz untuk berguru kepada Mohammad Hossein Tabrizi dan belajar rumus-rumus khat Nasta'liq darinya. Kemudian dia pergi ke kota Isfahan untuk mendirikan dan memperkenalkan sekolah seninya.
Meskipun kaligrafi Nasta'liq sudah dibakukan oleh Mir Ali Tabrizi, namun puncak kesempurnaan kaligrafi ini ditemukan dalam karya-karya Mir Emad. Banyak dari kekurangan khat ini termasuk kaidah-kaidah penulisannya disempurnakan berkat kejeniusan seniman terkemuka ini.
Selama menetap di Isfahan, Mir Emad mendidik banyak siswa, dan aliran seninya juga sangat diminati di India dan Dinasti Ottoman sehingga model kaligrafi Mir Emad dikenal sebagai model yang paling sempurna dari khat Nasta'liq.
Para seniman Dinasti Ottoman seperti, Veliyyuddin Efendi, Mohammad Asad Elisari, dan Sayid Mohammad Dadashzadeh, termasuk di antara murid jauh Mir Emad dan penerus aliran seninya. Puisi-puisi yang ditinggalkan oleh Mir Emad, memperlihatkan jiwanya yang lembut dan seleranya yang bagus.
Di samping karya-karya yang fenomenal, Mir Emad juga menggunakan khat Nasta'liq-nya untuk menulis buku-buku besar seperti Golestan dan Bustan Saadi, buku doa Khajeh Abdullah Ansari, serta puisi-puisi yang indah.
Mir Emad meninggal dunia pada tahun 1615 karena dibunuh oleh salah satu pegawai kerajaan Shah Abbas I dan makamnya sekarang terletak di Masjid Maqsudbeyk, Isfahan.
Mir Emad Hassani Qazvini dianggap sebagai kaligrafer Iran terbesar dalam naskah Nasta'liq. Karya-karyanya ditukar dengan emas dan ketika dia meninggal dunia, dia sangat kaya sehingga menteri pada masa itu tidak mampu membeli rumah Mir Emad. Karyanya merupakan antara spesimen kaligrafi Nasta'liq yang terbaik dan kebanyakannya disimpan di beberapa museum terkenal dunia sebagai bahan artifak sejarah dan warisan.
Seni kaligrafi adalah seni menulis dengan indah dengan pena sebagai hiasan. Orang yang melakukan proses ini disebut kaligrafer, terutama ketika kaligrafi telah menjadi profesi seseorang.
Meskipun seni kaligrafi berkembang di Timur, namun model-model kaligrafi dapat ditemukan di semua budaya. Kata calligraphy mulai diadopsi dalam bahasa Latin pada abad ke-15 dan baru dikenal sebagai sebuah istilah pasca abad ke-19. Tetapi sejak zaman kuno terutama di negara-negara Timur Jauh dan negara-negara Muslim termasuk Iran, kaligrafi dipandang sebagai seni tinggi.
Sebelum Islam, berbagai aksara seperti tulisan paku, Pahlavi, dan Avesta sudah dikenal luas di Iran, tetapi dengan kedatangan Islam, nenek moyang orang Persia mengadopsi abjad dan aksara Islam.
Sejarah lahirnya khat Arab dan gaya penulisannya muncul hampir bersamaan dengan penyebaran Islam. Seni kaligrafi selalu menjadi perhatian besar kaum Muslim, karena ia dianggap sebagai seni untuk menulis wahyu Ilahi. Mereka menggunakan kaligrafi tidak hanya untuk penulisan al-Quran, tetapi juga diaplikasikan untuk seni-seni lain.
Pada 6 Juni 2020, Kementerian Warisan Budaya dan Pariwisata Iran berencana mendaftarkan kaligrafi Iran sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Semua dokumen untuk keperluan ini telah dikirim ke UNESCO. Komite UNESCO untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda akan mengumumkan keputusannya tentang kaligrafi Iran pada sidang tahun 2022.
Namun, media-media Turki menyatakan bahwa pemerintah Ankara juga telah mengirimkan dokumen seni kaligrafi Islam untuk didaftarkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO.
Jika melihat sejarah seni kaligrafi, Turki tidak mengenal seni ini sebelum berkuasanya Dinasti Ottoman. Tetapi, seni kaligrafi dan penulisan al-Quran di Iran sudah mencapai puncaknya sebelum periode itu. Kasus pemalsuan juga sudah dilakukan sebelum ini oleh Turki. Sebagai contoh, kaligrafer besar Iran, Mir Emad Qazvini di sebagian buku ditulis sebagai seorang kaligrafer Istanbul.
Distorsi sejarah dapat dilihat dari motto yang dipilih oleh pemerintah Turki dalam mendaftarkan kaligrafi Islam ke UNESCO. Situs Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki memilih motto, "Al-Quran turun di Makkah, dibaca di Mesir, dan ditulis di Istanbul" (The Quran was revealed in Mecca, recited in Egypt and written in Istanbul). Ini adalah bentuk distorsi sejarah yang paling nyata dengan melihat sejarah kaligrafi dan penulisan al-Quran.
Seorang kaligrafer Iran dan peneliti bidang seni, Hamidreza Qelichkhani mengatakan, "Negara-negara seperti Iran, Turki, dan Irak dapat mengajukan permohonan pendaftaran kaligrafi ke UNESCO, karena ini merupakan budaya bersama antara negara-negara ini."
Berkenaan dengan motto yang dipilih Turki, dia menegaskan, "Ini adalah sebuah motto yang menipu, karena Dinasti Ottoman belum berdiri sebelum abad kesembilan Hijriyah dan ini sudah dibuktikan. Sebelum ini, beberapa penerbit Lebanon juga membuat motto serupa tentang percetakan al-Quran, yang tidak sesuai dengan fakta."
Qelichkhani lebih lanjut menuturkan, "Bagian ketiga dari motto yang dipakai Turki, tidak sesuai dengan fakta, karena al-Quran tertua yang dipegang Dinasti Ottoman adalah milik abad kesepuluh Hijriyah. Pada dasarnya, Turki ingin menghubungkan 500 tahun aktivitasnya di bidang kaligrafi dengan seluruh sejarah kaligrafi Islam. Seperti yang terjadi dengan Maulana, dengan slogan dan promosi besar-besaran berusaha menyembunyikan sebagian fakta dan memperkenalkannya sebagai bukan orang Iran."
"Turki telah mengubah nama khat Nasta'liq menjadi khat Ta'liq, padahal literatur kuno mereka sendiri menggunakan nama Nasta'liq. Ini adalah sebuah kepastian sejarah bahwa kaligrafi Turki merupakan salah satu bagian dari seni kaligrafi Iran," ungkapnya.
Dalam menanggapi keputusan Turki itu, Dirjen Kantor Pencatatan Warisan Sejarah dan Budaya Iran mengatakan, "Perlu kami tekankan bahwa pendaftaran sebuah peninggalan warisan budaya tak benda dalam Daftar Warisan UNESCO, bukan sebuah masalah monopoli. Konvensi tentang Warisan Budaya Tak Benda 2003 telah menjelaskan persoalan ini dengan baik yaitu, jika masalah seni kaligrafi ditemukan di banyak negara, semua negara itu dapat mendaftarkan seni itu atas namanya. Namun harus didukung oleh dokumen sejarah yang kuat dan tanpa cacat."
"Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO memiliki tiga kategori yaitu daftar yang membutuhkan pelindungan mendesak, daftar perwakilan, dan daftar langkah pelindungan terbaik. Sejauh ini Iran dan banyak negara lain belum mendaftarkan warisan apapun dalam daftar langkah perlindungan terbaik. Pendaftaran untuk kategori ketiga lebih sulit karena melihat esensi dan langkah-langkah perlindungan. Kami berharap seni kaligrafi akan tercatat dalam daftar tersebut," imbuhnya.
Perlu dicatat bahwa meskipun Iran dan Turki terlibat kompetisi di bidang kaligrafi dalam berbagai periode, tetapi siapa pun tidak bisa menyangkal kebangkitan dan pertumbuhan seni ini di Iran. Masalah estetika seni kaligrafi dapat ditemukan di berbagai aliran seni Iran dan ada dokumen sejarah yang memperkuat hal ini.
Meski demikian, Turki pada tahun 2015 ingin mendaftarkan seni khat Nasta'liq – yang dikenal di seluruh dunia sebagai khat Iran dan pengantin khat Islam – sebagai warisan budayanya. Waktu itu, Ketua Dewan Tinggi Lembaga Kaligrafi Iran, Javad Bakhtiyari menunjukkan reaksi atas keputusan Turki dan mengatakan pihaknya sedang bekerja sama dengan UNESCO untuk mendaftarkan khat Nasta'liq Iran.
"Khat Nasta'liq adalah identitas seni kita. Khat Nasta'liq dan Shekasteh Nasta'liq adalah cermin yang memperlihatkan seluruh selera Iran dan kami akan berusaha mendaftarkannya atas nama Iran," tegasnya. (RM)